BAB
I
PENDAHULUAN
2.1
Latar Belakang Masalah
Adapun tujuan penulis mengangkat topik tentang system
politik Indonesia era Reformasi (Pasca Orde Baru) ini yaitu untuk memberikan
informasi pada pembaca keadaan sistem politik Indonesia pada saat . Namun ini
juga sebagai pemahaman tentang sistem politik Indonesia dan kinerjanya yang
sangat penting untuk menumbuhkan dan meningkatkan kepedulian serta partisipasi
aktif mereka, sehingga sistem politik Indonesia bisa melayani kepentingan
public secara substansial dan maksimal.
Meskipun
demokrasi telah dibuka secara luas dengan begulirnya proses reformasi, namun
perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum
terserap secara maksimal. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan
rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik dari elit politik,
penyelenggara pemerintah, maupun kelompok-kelompok kepentingan. Di lain pihak,
institusi pemerintah tidak jarang berada pada posisi tidak berdaya menghadapi
kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan, sebab walaupun kebebasan
yang berlebihan tersebut bersifat konstekstual dan polanya tidak
melembaga,cenderung mengarah pola tindakan anarkis. Tumbuh dan berkembangnya
partai politik dan organisasi massa yang berorientasi penonjolan agama, etnis
dan kecemburuan sosial merupakan tantangan pula untuk mewujudkan sistem politik
yang stabil, transparan dan demokratis.
Sistem
politik Indonesia dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa dan mencapai tujuan
nasional, maka sesuai dengan pancasila dan undang-undang Dasar 1945, pemerintah
republik Indonesia menyelenggarakan politik Negara, yaitu keseluruhan
penyelenggaraan politik, yang cenderung agak sentralistik karena UUD 1945 itu
sendiri yang integralistik, dengan memanfaatakan mendayagunakan segala
kemampuan aparatur Negara serta segenap dana dan daya, demi terciptanya tujuan
nasional, dan terlaksananya tugas Negara sebagaimana di tetapkan dalam UUD 1945.
Hal ini karena para Founding Fathers menginginkan Negara ini bersatu pada
mulanya, banyaknya suku,agama,pulau,bahasa dan corak ragam lainya di negeri
ini.
Selama
pasca orde baru, kehidupan politik di tandai dengan ketidakpastian di tingakat
massa, dan konflik politik yang tinggi di tingkat elit. Oleh karena itu, proses
sosialisasi politik merupakan sesuatu yang tegarap secara baik dan teroganisir.
Hal ini di sebabkan karena elit-elit politik dan elit-elit strategis terjebak
dalam proses “adu kekuatan” yang melibatakan massa. Kasus Pamswakarasa
merupakan contoh bagaimana proses sosialisasa politik kurang. Pada akhirnya,
masa yang sebelumnya mengalami pelemahan daya beli akibat krisis ekonomi pada
tahun 1997 akhir, terlibat dalam blok-blok konflik yang diciptakan para elit,
tanpa mereka mengetahui secara nyata maupun laten, akan maksud politik yang ada
di dalamnya. Kasus terpenting dari hal ini adalah terjadinya berbagai bentrokan
Mahasiswa dengan massa dan aparat. Kasus Trisakti dan Semanggi, setidaknya dapat
dianggap sebagai refrensentasi kan lemahnya sosialisasi pada pasca orde baru.
1.2
Tujuan
Ø
Sebagai persyaratan untuk mendapat
nilai tugas nasionalisme.
Ø
Untuk mengetahui, memahami dan mengerti
pengetahuan nasionalisme
Ø
Menambah wawasan pengetahuan
nasionalisme bagi pembaca khususnya mahasiswa.
1.3
Rumusan masalah
Ø Mengenai Sistem Politik Indonesia Pada
Era Reformasi(Pasca Orde Baru).
Ø Bagaimana Keadaan Sistem Politik Di Indonesia
Ø Fenomena Yang Menarik Pada Pasca Orde
Baru.
Ø Politik Era Reformasi
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Politik Indonesia Pada Era Reformasi (Pasca Orde Baru).
Orde Baru telah mengalami keruntuhan seiring jatuhnya
soeharto sebagai presiden yang telah memimpimn Indonesia selama 32 tahun, pada
tanggal 1 Mei Pak Harto akhirnya mengundurkan diri yang di sambut oleh
masyarakat, utamnya di Jakarta dengan tumpah ruah di jalan, mereka bersujud
kepada Pemilik Alam dengan berlinang air mata. Sesyukur itukah mereka,
entahlah, mereka memang sudah bosan di pimpin selama setengah abad hanya dua
orang saja. setelah sebelumnya krisis ekonomi
menghancurkan legitimasi pemerintahn Orde Baru. Dalam kaitan ini, Jhon Mcbeth memberikan komentar bahwa tanpa kehancuran di bidang
ekonomi,yang selama ini menjadi landasan legitimasi pemerintahan soeharto,
tidak akan ada kesempatan untuk perubahan politik. Sejak soeharto lengser dari
kursi kepresidenannya, bahkan sampai di penghujung abad 19, bangsa Indonesia
belum mengetahui kemana arah perubahan akan terjadi. Pada saat itu, kita baru
bisa mengecap aromanya saja. Pada tahun 1999, memang sudah di gelar pemiku
multi partai. Tapi keikutsertaan 48 partai politik dari berbagai latarbelakang
yang kompleks, baru sebatas euphoria, bukan perubahan yang bermakna reformasi.
Meski political will sudah mengiringnya.
Perlahan
tapi pasti, bangunan reformasi mulai terlihat fondasinya di paruh akhir tahun
2000. Setidaknya, melalui keberanian untuk mengamandemen UUD 1945, bangsa ini
tengah memulai perubahan yang bersifat structural. Meski, sejak Habibie naik
panggung kekuasaan, secara kultural, perubahan itu sudah terjadi. Bahkan,
sampai pemilu kedua di era reformasi, pada tahun 2004 perubahan structural
dalam format politik Indonesia, seakan mencapai klimaksnya. Terlebih, ketika
kesuksesaa mengamandemenkan UUD 1945, di buktikan dengan lahirnya seoramg
presiden republic Indonesia dari rahim pemilihan presiden langsung (Pemilu
Presiden ).
Era
Reformasi seringkali di anggap sebagai era di mana “ banyak penumpang gelap”
masuk dalam gerbong gerakan refomasi. Hal ini dapat di lihat ketika beberapa
mantan menteri di era orde baru berkoar-koar tentang reformasi. Bahkan, para
mantan birokrat sipil maupun militer termasuk pengusaha “merubah kostum
politiknya” dari gaya orba menjadi gaya seorang reformis. Mereka terlibat aktif
dalam mendanai aksi-aksi mahasiswa dan massa. Bahkan, “ perselingkuhan” dengan
media-media tertentu membuat mereka sering “nongol” di media massa dengan
tema-tema reformasi. Sudah bisa diduga bahwa kaum-kaum opotunis tersebut
berperan sebagai “kutu loncat” atau “ musang berbulu ayam”. Pada saat dimna
parai-partai politik berdiri, kaum-kaum yang umumnya memiliki energy
politik relative besar tersebut, dengan mudah masuk kejajaran elit partai. Dan
akhirnya, proses rekrutmen politik berjalan secara tidak sehat. Padahal proses
rekrutmen politik tersebut seharusnya dilakukan dengan baik. Menurut Almond,
rekrutmen politik merupakan proses penyeleksian individu untuk dapat mengisi
lowongan jabatan-jabatan politik maupun pemerintahan, yang pada umunya terdapat
dua cara, yaitu secara terbuka dan tertutup. Rekrutmen politik yang bersifat
terbuka meruoakan proses penyeleksian terbuka untu seluruh warga Negara.
Sedangakan dengan rekrutmen politik tertutup dimaksudkan bahwa individu
tertentu saja yang dapat di rekrut untuk menduduki jabatan politik maupun
pemerintahan.
2.2 Keadaan Sistem Politik Di
Indonesia
Menurut McBeeth, jika keadaan ekonomi dan masalah yang di
tinggalkan pemerintahan soeharto tidak sedemikian menjadi factor yang
mendatangkan ketidakstabilan, masa itu akan menjadi periode yang sangat
menggairahkan bagi indonesia sejak kemerdekaannya.
Apa
yang di kemukakan oleh McBeth di atas, barangkali memeang benar. Bagaimanapun
selama hampir keseluruhan kurun waktu pemerintahan soeharto, legitimaasi
pemerintahan ini hampir sekal disandarkan pada pembangunan ekonomi, yang dalam
kenyataannya. Rapuh. Namun, diluar kerapuhan yang tidak begitu tampak pada
awalnya, komentar-komentar yang muncul terutama yang berasal dari Bank Dunia
misalnya, menyebutkan Indonesia dan beberapa Negara lain seperti Malaysia,
Taiwan, Thailand, Korea Selatan dan Singapura akan menjadi kekuatan baru di
kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Namun, krisis telah merontokan prediksi
tersebut. Ini dapat dilihat dari kehancuran ekonomi yang melanda Indonesia
selama masa krisis moneter 1997-1998. Pada kenyataannya, krisis ekonomi dan
moneter yang dilami Indonesia jauh lebih parah di bandingkan dengan
Negara-negara lain yang mengalami hal yang sama. Indonesia memerlukan waktu
lebih lama di bandingkan Negara-negara lain dalam kawasan Asia timur dan Asia
tenggara, seperti Thailand, korea selatan dan Malaysia untk keluar dari krisis.
Sementara itu, keterpurukan ekonomi Indonesia sebagai akibat krisis tersebut
masih dapat dirasakan hngga saat ini oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kebangkrutan pemerintah pasca-soeharto telah mendorong pemerintah berikutnya
mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM), dan ini tentunya berimbas pada
perluasan kemiskinan dan pengangguran. Kompas mencatat bahwa angka
pengangguran terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 misalnya,
penggangguran hanya sebesar 5,6 juta orang atau 6%, namun angka ini meningkat
menjadi 10% atau 9,5 juta orang pada tahun 2003 lalu melompat lagi menjadi
10,3% atau 10,9 juta orang pada tahun 2005. Jumlah orang yang bekerja memang
terus mengalami peningkatan, tetapi menurut laporan Bank Pembangunan Asia
(april 2006), sebagaimana di kutip kompas, hanya sebesar 29,2% yang
bekerja di sector formal, sedangkan selebihnya sebesar 70,8% bekerja di sector
formal yang sangat rentan terhadap jaminan social.
Meskipun
demikian, krisis tidak hanya menpunyai dimensi buruk. Sebaliknya krisis juga
memebawa serat peluang kea rah kehidupan yang lebih baik. Di antaranya,
sebagaimana di kemukakan oleh McBeth, bahwa tanpa adanya krisis ekonomi tidak
akan pernah ada perubahan politik. Kenyataannya, krisis ekonomi telah menjadi
penyulut tidak hanya kejatuhan Rezim Soeharto yang despotis, tetapi juga
reformasi politik. Reformasi ini, beberapa di antaranya, telah menggeser
struktur politik orde baru yang otoriter dan digantikan dengan struktur politik
yang lebih demokrati. UUD1945 yang selama pemerintahan orde baru disakralkan
untuk tujuan-tujuan pelanggengan kekuasaan yang korup, tetapi pada masa
reformasi telah dilakukan amandemen. Badan legislatif sekarang ini kedudukannya
lebih di perkua, sementara preiden dan wakil presiden tidak lagi di pilih oleh
MPR, tetapi di pilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian presiden tidak lagi
mempertanggungjawabkan jabtannya di depan sidang umum (SU) MPR sebagaimana
biasanya. Pemilu yang pada masa oede baru hanya menjadi ritual demokrasi tanpa
makna, kini telah menjadi bagian penting demokrasi. Partai politik yang
sebelumnyadimandulkan oleh kebijakan pemerintah dengan membatasinya hanya tiga
partai saja, sekarang ini lebih dari 50 partai politik telah mencatatkan diri
di Departemen Kehakima. Pendeknya, Indonesia kini telah masuk masa mengairahkan
sebagai salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia dengan jumlah penduduk
lebih dari 200 juta orang.
Mengomentari
hal ini, dalam sebuah artikel yang dipublikasikan pada tahun 2003, Henk Schulte
Nordhold mengemukakan bahwa jika menilai perubahan sruktural ketatanegaraan
yang telah mencapai selama beberapa tahun yang lalu, perubahan-perubahan di
Indonesian dapa di katakan sebagai ‘silent revolution’. “Sebetulnya”
demikian Nordholt mengemukakan, “kalau menilai perubahan structural
ketatanegaraan yang telah tercapai selama beberapa tahun yang lalu kita boleh
saja bicara tentang ‘silent revolution’ yaitu suatu perubahan yang
sangat mendalam yang telah tercapai lewat proses demokratis, tentang baik
mengenai posisi MPR sendiri, yang diganti dengan sistem bicameral, maupun tidak
kalah penting juga, adalah posisi legislative (DPR) eksekutif yang jauh lebih
kuat ketimbang situasi sebelumnya.
Meskipun
tidaklah selalu mudah untuk memberikan penilaian terhadap apakah suatu
perubahan yang terjadi merupakan suatu silent revolution ataukah suatu
reformasi, tetapi mungki saja penilaian Nordholt diatas benar atau setidaknya
mengandung kebenaran. Revolusi, seperti kemukakan oleh Huntington, melibatkan
perubahan nilai-nilai, struktur social, lembaga-lebaga politik,
kebijakan-kebijakan pemerintah dan kepemimpinan social politik dalam tempo yang
begitu cepat, menyeluruh dan penuh kekerasan. Semakin uth semua perubahan ini
berlangsung maka semakin total revolusi yang mengikutinya. Sementara itu,
Reformai merujuk pada perubahan-perubahan yang terbatas dalam hal cakupan dan
dalam laju kepemimpinan, kebijakan, dan pranata-pranata politik. Ia mengadung
perubahan perubahan yang mengarah pada persamaan politik, social dan ekonomi
yang lebi merata, termasu perluasan peran serta politik dalam masyrakat dan
Negara. Perubahan moderat dalam arah yang bertentangan lebih tepat disebut
sebagai ‘konsolidasi’ di bandingkan dengan sebagai suatu reformasi.
Dengan
pemahaman seperti ini, perubahan-perubahan di Indonesia numgkin dapat di
katakanan sebagi suatu silent revolution sebagaimana pendapat Nordholt
di atas mengingat telah terjadi perubahan-perubahan yang cukup mendasar
terhadap struktur politik dan pemerintahan. Presiden dan wakil presiden telah
terpilih secara lansung oleh rakyat indonseia. UUD 1945 yang sebelumnya
dianggap sacral oleh rezim Orde Baru yang otoriter dan despotis telah di
amandemenkan beberapa kali, dan lembaga legislatif telah diberdayakan
sedemikian rupa, sehingga lembaga ini menjadi sangat kuat di bandingkan dengan
masa sebelumnya. Selain itu, media massa telah di jamin kebebasannya
berdasarkan undang-undang kebebasan pers. Sementara itu, penyelenggaraan
pemerintah daerah telah di dasarkan pada asas desentrlisasi dengan lebih
memperhatikan potensi di daerah masing-masing, dan MPR tidak lagi menjadi
lembaga tertinggi yang memiilih presiden dan wakil presiden. Keseluruhan ini
merupakan perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Namun, apakah perubahan ini
juga menyentuh struktur social dan nilai-nilai dalam masyarkat, tentunya akan
memerlukan energy yang lebih besar untuk mendiskusikanya.
Era
dimana bangsa Indonesia memiliki keinginan untuk mereformasikan diri, mestinya
pola rekrutmen politik dilakukan dengan cara terbuka. Sehingga, ketika pada
awal-awal reformasi rekrutmen politik dilakukan secara tertutup, maka tidak ada
bedanya dengan apa yang terjadi pada ere orde baru.Tipe dan model Sistem
Politik Para ilmuwan politik mencoba menyusun tipe dan model sistem politik
dengan beberapa kategorisasi dan klasifikasi serta criteria yang berbeda-beda.
oleh warga Negara dalam sistem politik itu sendiri. Tipe dan model yang hendak
diuraiakan berikut ini lebih mendasar pada Klasifikasi tipe-tipe politik ada yang berdasarkan variable
tata nilai dalam masyarakat yang mendasarkan pada beberapa orang yang memegang
pemerintahan apakah pemerintah di lakukan oleh satu orang, beberapa orang dan
banyak orang. Selain itu ada kriteria mendasarkan diri pada ada tidaknya pertanggungjawaban
dari yang memerintah kepada yang di perintah, serta bagaimana peranan yag dapat
dimainkan sudut kesejahteraan dan perkembangan sistem politik dari berbagai
Negara disesuaikan dengan perkembangan kultur dan struktur masyarakatnya.
Rais
A.Khan membuat klasifikasi tipe-tipe sistem politikberdasarkan variable tata
nilai dalam masyarakat yakni (modern dan tradisional) dan sifat proses politik
(fungsi konversi) dalam pengelolaan input menjadi output (demokrasi dan non
demokrasi). Atas dasar pemikiran tersebut sistem politik di bagi menjadi 4
tipe:
1.
Tipe sistem politik tradisional
bersifat demokrasi
2. Tipe sisitem politik yang
tradisional non-demokratis
3.
Tipe sistem politik modern yan
bersifat demokratis
Konsep
“tradisional” dan “modern” di gunakan untuk menunjukan tingkay terspesialisasi
dan rasionalisasi budaya politik, misalnya di tinjau dari nilai-nilai
politikyang kurang jelas, maka sistem politik itu disebut semakin tradisional.
Dengan semakin jelasnya pembagian fungsi dalam infrastruktur, maka sistem
politik itu semakin modern. Sedangakan konsep “demokrasi “ dan “non-demokrasi”
dipergunakan untuk menunjukan tingkay keterbukaan suatu sistem politik dalam
menerima input dan memprosesnya/transformasinya menjadi output. Semakin
tertutupnya sistem politik dalam menerima input, maka dikatakan semakin tidak
demokratis. Dengan semakin terbukanya sistem politik untuk menerima input, maka
dikatakan semakin demokratis.
Almond
dan Powel membagi
3 kategori sistem politik yakni:
1. Sistem politik primitive yang intermittent
(bekerja dengan sebentar-sebentar istirahat). Sistem politik ini sangat
kecil kemungkinannya untuk mengubah peranannya menjadi terspesilisasi atau
lebih otonom. Sistem ini lebih mencerminkan suatu kebudyaan yang samar-samar
dan bersifat keagamaan (parochial)
2. Sistem politik tradisional dengan
struktur yang-struktur bersifat pemerintah politik yang berbeda-beda dan suatu
kebudayaan “subyek”
3. Sistem –sistem modern di mana
struktur-struktur politik yang berbeda-beda (pertai-partai politik,
kelompok-kelompok kepentingan dan media massa) berkembang dan mencerminkan
aktivitas budaya politik “paeticipan”
Ramlan
Surbakti dalam mengklasifikasikan sistem politik menggunakan model sistem
politik dengan empat macam criteria yakni:
1.
Sistem Politik Otokrasi Tradisional
2.
Sistem Politik Totoliter
3.
Sistem Politik Demokrasi
4.
Sistem Politik pada Negara-negara
berkembang
Lebih
jauh Ramlan Surbakti menjelaskan, bahwa sistem politik yang berlaku pada
Negara-negara yang sedang berkembang, di tinjau dari segi Rezim politik
(hak-hak warga negara) sistem politiknya adalah birokrasi-otoriter.
Hal
ini di tandai dengan pluralism terbatas dengan cara menerapkan korporatisme
Negara sebagai sistem perwakilan kepentingan, dan kooptasi dan represi
terhadap pihak oposisi. Kebebasan dan hak-hak politik individu dibatasi
dam lebih menekankan pada perlunya Negara mengontrol pernyataan-pernyataan
aspirasi politik yang menuntut pemerataan.
1.
Sistem Politik Otoriter/Totaliter
2.
Sistem Politik Anarki
3.
Aiatem Politik Demokrsi
4.
Sistem Politik Demokrasi dalam Transisi
2.3Fenomena
Yang Menarik Pada Pasca Orde Baru.
Fenomena yang juga menarik pada pasca orde baru adalah
terfragmentasinya artikulasi kepentingan dalam masyarakat. Padahal, iklim
politik masih sangat kondusif untuk melakukan perubahan-perubahan yang penting
sebagai tanda peralihan era pemerintahn dari orde baru ke era reformasi. Almond
menyatakan, artikulasi kepentingan merupakan cara yang lazim di tempuh oleh
anggota masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat agar
kepentigan dan kebutuhanya dapat terpenuhi dengan memuaskan. Berbagai macam
kepentingan atau kebutuhan anggota masyarakat dapat terpenuhi oleh sistem
politik, bilamana dikemukakan secara nyata, baik melalui tokoh-tokoh maupun
lembaga-lembaga yang ada di dalam masyarakat, atau yang lazim disebut
kelompok-kelompok kepentingan.
Di
Indonesia pasca Orde Baru, kelompok-kelompok kepentingan semacam itu baru pada
fase “kanak-kanak”. Sehingga baik lembaga maupun peranannya masih sangat
terbatas. Pada era pasca orde baru, funsi-fungsi artikulasi masih dominan
dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat tertentu, atau kelompok-kelompok
tertentu, seperti abdurahman wahid dengan NU nya, dan amie rais dengan
muhamadiyahnya. Ketika proses rekrutmen politik lemah di satu pihak, dan budaya
politik patron klien masih tinggi di dalam masyarakat Indonesia, serta
lemahanya integritas tokoh-tokoh masyarakat atau kelomok kepentingan,
maka pada umumnya, artikulasi kepentingan yang muncul lebih merupakan pemunculan
kepentingan kepentingan pribadi golongan kontradiktif dengan semangat reformasi
yang terjadi.
Lemahnya
rekrutmen politik yang terjadi, telah menyebabkan kelompok-kelompok kepentingan
seperti Ormas, LSM, dan Partai Politik, tidak sedikit yang terisi oleh “ kaum-kaum
reformis gadungan”. Hal ini diperparah dengan “menyulutnya” budaya patron
klien, melalui instrument iming-iming uang dan kekuasaan, yang memang pada
waktu itu masih di kuasai oleh elit-elit Orde Baru. Akibatanya, kaum-kaum
reformis gadungan tersebut dengan leluasa menyuarakan kepentingannya melalui
lembaga-lembaga yang dianggap reformis. Dalam konstelasi politik yang demikian,
fragmentasi kepentingan tidak terelakan terjadi, karena berangakat dari
kepentingan-kepentingan yang berbeda dan kontradiktif pada fase pengemukaan
artikulasi kepentingan.
Indonesia merupakan bangsa yang telah merdeka selama 65
tahun dan mau menuju ke 66 tahun pada tahun ini. Dalam perjalanan, Indonesia
mengalami macam perubahan metode dalam sistem pemerintahan. Dimulai dari RIS (
Republik Indonesia Serikat ), Sistem Parlementer hingga Sistem Demokrasi
Terpimpin. Perubahan sistem pemerintahan tersebut telah dianggap menjadi sebuah
kewajaran, di karenakan Indonesia pada saat itu masih baru
merdeka sehingga masih mencari sistem pemerintahan yang baik untuk digunakan.
Lalu pada masa orde baru, pembangunan politik lebih mengarah kepada pelanggengan
kekuasaan dari pihak penguasa saat itu. Hal tersebut ditandai dengan adanya
fusi partai yang diterapkan pada Pemilu pada tahun 1977. Artinya Soeharto pada
saat itu menjabat sebagai Presiden dapat mengurangi ancaman dan tekanan dari
pihak partai lain selain partai Golkar yang menghalanginya untuk dapat menjadi
Presiden. Buktinya adalah Alm. Soeharto yang dapat menjabat sebagai Presiden
selama 32 tahun.
Ketika
krisis moneter yang dirasakan ngera kita yaitu Indonesia sejak tahun 1993,
munculah sebuah wacana tentang suksesi yang dilontarkan oleh Amien Rais untuk
menggulingkan rezim Soeharto. Puncaknya adalah pada Mei 1998, yaitu adanya
tuntutan untuk reformasi dan turunnya Alm.Soeharto dari kursi kepemimpinan
beserta kroninya yang dianggap telah membuat Indonesia mencapai puncak krisis
yang paling parah. Sampai pada akhirnya Alm.Soeharto mengundurkan diri yang
dikarenakan oleh desakan dari parlemen dan mundurnya beberapa menteri dari
kabinet waktu itu.
Setelah
turunnya Alm.Soeharto, kembali tumbuh masalah baru. Presiden yang berikutnya
yaitu B.J Habibie mengumumkan untuk membuka kran demokrasi selebar-lebarnya
yang artinya masyarakat Indonesia bebas untuk melakukan apapun dalam halnya
berbicara, bertindak dan melakukan kreativitas yang menunjang untuk dirinya
sendiri, masyarakat serta bangsa dan negara. Setelah adanya pembukaan kran
demokrasi yang luas seperti itu, masyarakat Timor Leste seakan mendapatkan
kebebasan untuk memerdekakan tanah mereka yang selama ini hanya dimanfaatkan
oleh Alm.Soeharto pada masa orde baru silam. Hal ini dikarenakan pada masa orde
baru tidak melakukan pembangunan apapun di tanah Timor Leste setelah hasil
kekayaan mereka dimanfaatkan oleh pusat sehingga memunculkan rasa ketidakadilan
bagi masyarakat Timor Leste.
Penyebab
ini yang akhirnya mengakibatkan rakyat Timor Leste menginginkan untuk lepas
dari NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia ). B.J Habibie selaku kepala
Negara, saat itu mengadakan jajak pendapat untuk kebaikan kedua belah pihak.
Timor Leste dan akhirnya lepas dari pangkuan ibu pertiwi.
Hal
tersebut sedikit banyak mempengaruhi pandangan dan pola pikir masyarakat
Indonesia tentang arti demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Kejadian
lepasnya Timor Leste dari NKRI menunjukkan bahwa rapuhnya sistem demokrasi yang
dibangun oleh Indonesia pada saat itu. Pembangunan nilai demokrasi yang
seharusnya diawali dari pemerintahan saat itu guna menjaga dan
mensosialisasikan nilai demokrasi yang sebenarnya tidak menggunakannya dengan
baik dan benar. Sampai pada akhirnya perganti Presiden hingga saat ini.
Kebebasan
berdemokrasi dan politik membuat bangsa Indonesia terjebak dalam sebuah sistem
“Demokrasi Kebablasan” yang artinya masyarakat Indonesia saat ini menjalankan
demokrasi yang tidak dibatasi dalam peraturan dan perundang-undangan. Meskipun
ada beberapa undang-undang yang mengatur itu, banyaknya penyimpangan yang
mengatasnamakan demokrasi seolah mengalahkan undang-undang yang dibuat.
Demokrasi yang terlalu bebas juga dapat menjadikan masalah baru bagi masyarakat
yang taraf hidupnya rendah. Kebebasan berdemokrasi justru membuat rakyat miskin
semakin kekurangan karena tidak mempunyai kesempatan yang sama dalam
berdemokrasi selayaknya masyarakat kalangan atas. Adanya kesenjangan sosial
yang cukup jauh ini, menyebabkan timbulnya beberapa macam akibat seperti
vandalisme, keberpihakan negara terhadap elit sampai yang terparah adalah
pemotongan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada masyarakat miskin.
Timbulnya
vandalisme dalam berdemokrasi bukan lain adalah dikarenakan ketidakmerataan pembangunan
pemerintah yang berdampak pada kondisi psikologis bagi masyarakat dan
menimbulkan beberapa dampak iri terhadap masyarakat yang merasakan pembangunan.
Begitu juga dengan keberpihakan negara pada kaum elit yang seakan menekan
rakyat miskin guna unutk memenuhi kepentingan elit semata seperti kasus
penggusuran yang diperuntukkan membangun perumahan dan gedung – gedung tinggi
yang dikuasai oleh para elit. Kebijakan subsidi juga menjadi sebuah masalah
baru. Adanya pemotongan dana subsidi dari pemerintah daerah juga merupakan
contoh buruk demokrasi yang dikembangkan Indonesia saat ini. Ketika ini sudah
terjadi dan banyak diekspos oleh media, pemerintah hanya diam seribu bahasa.
Tidak ada penindakan tegas dan langkah konkrit dari pemerintah untuk menangani
hal ini.
Akhirnya
kesimpulan dari penulis adalah “demokrasi yang pada awalnya mempunyai konsep
yang bagus dan dapat dilaksanakan di Indonesia dengan baik mempunyai banyak
penyimpangan yang tidak perlu. Kurangnya pemahaman dari elit politik tentang
demokrasi juga patut menjadi pekerjaan bersama, artinya para elit politik dalam
pemerintahan dapat mengetahui arti dari demokrasi yang sebenarnya sehingga
mereka dapat memberikan contoh kepada masyarakat luas tentang demokrasi yang
seharusnya dijalankan oleh Indonesia. Pembangunan yang dilakukan juga haruslah
merata agar dapat meminimalisir akibat yang nantinya akan ditimbulkan.”
2.5 Politik Era Reformasi
Gerakan
reformasi yang muncul pada awal 1998, kini genap berumur 10 tahun. Pada
mulanya, agenda yang diusung cukup beragam, dari tuntutan untuk mengakhiri
praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Politik di Indonesia pasca
jatuhnya Soeharto terjadi dalam suasana change to change, yang sifatnya bukan
lagi transisional, tetapi dapat disebut sebagai transaksional. Transisi yang
merupakan kerangka waktu untuk menandai suatu pergantian dari rezim otoritarian
ke rezim demokrasi terjadi dalam suasana transaksional, suatu ciri dan tanda-
tanda berkuasanya kroni-kroni rezim lama dalam format politik baru.
Transaksional yang dimaksud adalah perilaku-perilaku politik rezim
"baru," berkompromi dengan kekuatan kroni-kroni Soeharto yang
mengubah wajah politiknya dalam suasana reformasi. Kekuatan politik (partai
politik dan tokoh-tokohnya) yang lahir di masa reformasi, apakah itu PAN, PDIP,
PKB, PKS, serta sejumlah partai dan tokohnya yang lain, kurang mampu mendorong
gerbong perubahan yang lebih terarah. Wajah politik Indonesia justru
terjerembab dari sifat perubahan demi perubahan. Ciri ini mirip dengan anomali
politik, di mana sistem politikyang dibangun kurang memiliki arah, tujuan, dan
sasaranyang jelas, khususnya dalam konsolidasi demokrasi dan merampungkan
sejumlah agenda reformasi yang melahirkan transisi. Dampaknya, sejumlah agenda
reformasi yang diusung sebagai suatu momentum bersama untuk melangkah dalam
kehidupan politik yang lebih baik tidak terjadi. Sebaliknya, anomali demi
anomali seringkita saksikan dalam praktik politik. Kita dapat mencatat sejumlah
hal, pertama, amandemen konstitusi mengalami "penyebaran," yang
justru melahirkan kontradiksi hukum. Kita menganut system presidensial di satu
sisi, tetapi dalam amandemen UUD 1945 praktik-praktik parlementer terjadi.
Kedua, terjadi kontradiksi aturan main antara pusat dan daerah, kepastian hukum
yang dihasilkan oleh kebijakan pusat dan daerah saling bertabrakan. Ketiga,
agenda penghapusan KKN yang dituntut mahasiswa sebagai akar masalah yang
menyebabkan krisis politik dan ekonomi sulit diubah dari wajah perpolitikan
Indonesia. Bedanya, bila di masa Orde Baru, KKN terpusat pada sosok dan
keluarga Soeharto sebagai patron, kini KKN menyebar dalam diri rezim-rezim
penguasa mulai dari tingkat pusat hingga ketingkat daerah. KKN sebagai agenda
utama yang harus diberantas justru mengalami metamorfosis. Bentuk-bentuknya
berimpit pada diri rezim-rezim yang berkuasa. Bangsa kita menjadi bangsa yang
munafik karena dalam praktiknya, KKN justru semakin terjadi secara transparan.
Padahal, isu penghapusan KKN adalah isu utama gelombang reformasi sejak akhir
1997 dan awal 1998. Keempat, kita menyaksikan fenomena umum terjadinya korupsi
"berjamaah" di mana-mana, dari tingkat pusat hingga tingkat daerah.
Kita menyaksikan drama kolosal para koruptor menjadi "pahlawan" di
televisi dan tidak punya rasa malu. Padahal, persoalan korupsi adalah persoalan
awal yang dianggap telah merongrong bangsa ini sehingga mengalami krisis
ekonomi dan politik yang sangat parah.Tetapi, mengapa para elite yang berkuasa
lupa diri akan situasi krisis yang baru saja berlalu. Aji mumpung menjadi
fenomena umum karena di mana ada kesempatan berkuasa, ternyata sifat kekuasaan
identik dengan praktik- praktik korupsi. Berapa banyak penguasa di daerah,
gubernur, bupati, dan wali kota yang terseret masalah itu. Kelima, agenda
pengusutan harta dan kekayaan Soeharto juga mengalami kebuntuan, bahkan kini
muncul wacana "dibebaskan" dari segala tuntutan. Sikap dan perilaku
elite yang berkuasa memang "ambivalen,"disatu sisi menghendaki kasus
Soeharto terus dilanjutkan, di sisi lain, perkara itu dapat dihentikan dengan
pemberian maaf. Inilah makna transaksional yang dimenangkan kelompok
kroni-kroni Soeharto dalam perjalanan 10 tahun reformasi. Tidak heran bila kita
mengatakan reformasi telah mati suri sejak Pemilu 1999 menghasilkan susunan
kabinet dan menteri serta anggota legislatif. Kita menyaksikan elite politik
yang "lupa diri" atas permasalahan yang dihadapi masyarakat secara
umum dan agenda utama politik yang diusung reformator di masa-masa awal
penjatuhan Soeharto tidak dijalankan. Para elite yang berkuasa yang dibelit
persoalan harga yang tinggi, krisis yang berkelanjutan, pengangguran dan nilai
tukar rupiah yang tidak stabil, serta sejumlah fenomena ekonomi-politik
lainnya, menjadi gagap dan ketakutan. Risiko politik yang tinggi menyebabkan
penguasa yang lahir di masa reformasi mencari jurus selamat. Jurus itu adalah
transaksional yang ujung-ujungnya adalah kompromi dengan kroni-kroni kekuatan
lama (Orde Baru).
DAFTAR PUSTAKA
Tamin, Azian dkk.” Sistem Politik
Indonesia Pasca Orde Baru”. PUSAT STUDI POLITIK INDONESIA (PSPI) FISIP UNAS
bekerjasama dengan PUSAT STUDI POLITIK (PSP) MADANI INSTITUTE. Jakarta: Grafika
Indah.2005.
Rahman, Arifin. “ Sistem Politik
Indonesia”. Surabaya: SIC, kerjasama dengan LPM IKIP Surabaya. 1998.
Syafiie, Inu Kencana.”Sistem Politik
Indonesia”. Surabaya: Refika. 2002.
Sanit, Arbi. “Reformasi Politik”.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar